Hatiku dibanjiri kunang-kunang, kekasih... (De A -2012)

GENERASI SANTRI DARI SYAHADAT CINTA

oleh: IFTITA RAHMI

Berbicara tentang santri, ada hal yang luar biasa dari seorang santri, seperti santri-santri di Pesantren Tegal Jadin dalam novel syahadat cinta yang telah dikemas dengan apik oleh Taufiqurrahman Al-Azizy. Taufiqurrahman Al-Azizy telah mampu melejitkan novel ini menjadi novel yang best seller. Terdapat banyak peristiwa dan konflik yang identik dengan kultur dan tradisi saat ini.
Taufiqurrahman yang juga merupakan msntan seorang santri, mampu menghadirkan novel fenomenal di relung hati pembaca. Jika saudara ingin lebih mendalaminya, benar-benar ingin menghayatinya, maka membaca novel yang bersampul cokelat pudar, seperti awal syafaq, adalah cara utamanya dan hanya satu-satunya cara.
Dalam novel ini Taufiqurrahman Al-Azizy tidak menggunakan gaya bahasa yang langka dan sulit dipahami oleh seluruh peminat bacaan. Dari kalangan manapun penulis yakin mampu menguasai dan hanyut dalam alur novel pertama dari trilogi “makrifat cinta”. Percakapan-percakapan yang ringan dan tidak kaku juga akan membawa khususnya kaum muda, senang duduk mematung dengan memainkan mata, hati, pikirannya menelusuri lembaran demi lembaran novel ini. Seperti yang kita butuhkan generasi penerus bangsa. Novel ini sangat inspiratif dalam menggugah religiusitas dalam kehidupan kita.

Dalam novel ini Taufiqurrahman Al-Azizy memakai seorang tokoh yang merupakan seorang pemuda yang bisa dikatakan bangsawan, dari keluarga yang sarat dengan kerukunan. Dialah Iqbal.

Iqbal merupakan tokoh utama dalam novel tersebut. Merupakan seorang santri yang sebelumnya hidup dalam carut-marut kehidupan kota, kebebasan di pekatnya malam, dan kedekatannya dengan kriminalitas. Namun ternyata tidak semua orang bisa hanyut dan larut dalam kebebasan hidup tersebut. Semua kesenangan yang ia peroleh dari luar lingkungan keluarga tidak mengurangi sedikitpun rasa cinta dan kasihnya terhadap rumah dan keluarganya. Begitulah kreatifnya dalam merancang alur novelnya.
Iqbal dalam novel ini bergelut dalam banyak setting yang penuh kekuatan cerita dan makna. Kisah kasih dan permainan hati dengan orang-orang sekitarnya yang membawa perubahan hebat untuk hidupnya. Dari seorang pemuda metropolis yang masih berbakti kepada orang tuanya, menjadi seorang santri yang penuh cinta dari hati, tanpa berbumbu nafsu, dalam menafakuri perjalanan cintanya kepada Illahi.
Sesuai dengan judulnya, novel ini sungguh menjadi syahadat (kesaksian) pengembaraan religius Iqbal, sebagai seorang santri yang kekuatan hatinya semakin bertambah, setelah beranjak dari kisah demi kisah yang kita baca di setiap lembaran novel ini.

Santri

Melihat sejenak ke kehidupan nyata dan berpindah dari alur novel tersebut, terdapat perbedaan yang cukup mencolok jika diperhatikan dengan seksama antara santri (seorang Iqbal) dengan santri yang sekarang populasinya tidak terlalu menggubrak dunia pendidikan. Jika boleh diprediksikan maka penulis berani mengatakan bahwa hanya sedikit dari banyak santri di pesantren-pesantren sekarang yang tidak mampu lagi memikul sebutan “santri” tersebut. Berat memang, seorang santri (pelajar di sekolah keagamaan) akan dipandang bersalah besar ketika melakukan kesalahan yang sebenarnya sama dengan kesalahan orang atau pelajar sekolah umum. Namun itu sebenarnya sudah menjadi bagian dari kultur masyarakat disekelilingnya.
Dari sample peristiwa di atas saja sudah bisa dikatakan sebuah polemik yang susah untuk dijadikan ringan. Apalagi sekarang ini “badak indak tahu jo kapalo badaknyo” dan “adaik indak tahu lai dimano mamakainyo”, begitulah penulis mengistilahkannya.
Penulis memandang bahwa saat ini posisi para santri sangat seperti “telur di ujung tanduk”. Pandangan ini didasarkan oleh banyaknya generasi-generasi santri yang sekarang ini tidak tahu lagi dengan “santri”nya.tidak mengenal lagi aplikasi dan etos aplikasi dalam pendidikan yang telah disuapnya untuk kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat.

Sama seperti Iqbal (santri dalam novel syahadat cinta), para santri di zaman saisuak berani penulis katakana lebih cerdas dan bersyukur dengan keberadaannya. Yakni dengan kebergunaannya sebagai seorang santri di kalangan masyarakat kota maupun sanri di daerah pelosok sekalipun, mereka mampu dan berani menjadi seperti “gelas setengah berisi”yang bisa menuang dan juga bisa menerima. Meskipun sebenarnya kadar intelektualitasnya sudah bisa dikatakan tinggi.
Berbeda sekali dengan santri yang penulis lihat sekarang ini, jauh dari yang namanya cerdas dan bersyukur apalagi intelek. Semakin terkikis saja moral dan akhlak mereka yang lebih mengenal dan mempelajari hal-hal yang seperti itu.
Sangat disayangkan sekali, realita saat ini, jangankan untuk pengaplikasian ilmu yang mereka miliki sebagai orang berpendidikan. Untuk hal-hal kecil yang merupakan bagian dari adapt (kebiasaan) yang sangat sacral di mata masyarakat, sulit ditemukan di rongga kepala dan rongga dada para santri zaman global ini.

Merupakan suatu yang tidak layak bagi seseorang apalagi seorang santri, buta dengan lingkungannya. Disaat sangat dibutuhkannya agent of change untuk kelayakan hidup umat manusia yang tidak tahu lagi di ajar dan belajar saat sekarang ini. Yang mengedepankan etika, aqidah dan sikap tawadhu’, seperti seorang Iqbal.
Share:

PENAT

Terasa bak pemimpi di sepanjang kelam
Aku rebahkan pelupuk mataku
Berhenti dan mati saja bersama malam
Tak merangkul bayang rasanya tak apa bagiku

Lelah!
Menata jejak di tiang tulang yang kaku
Menderik-derikkan sendi yang terus bernyanyi
Penat sudah mengurut-urut daging busuk
Tak ingin muncul lagi di kemudian hari

Namun…
Aku masih muncul
Aku masih penat
Penat untuk berharap
Share:

AKAL LANANG

Aku bangga…
Melihat dan menelusup di aliran syaraf
Mendengar dan terlelap dalam arus pikiran
Alur akalmu seorang lanang

Sejuk bermandi dalam lautan salju
Berenang bersama akal lurus itu

Tapi sudahlah…
Ingin menampar kasar
Mencakar dan merobek cangkangmu
Memecahkan benak panasmu itu

Lebih baik bagiku
Tak lagi bangga
Untuk bersama akal bulusmu
Share:

SASAK

Melihat besi kusam itu
Tak berkarat memang
Namun pudarnya jelas terang
Tak berwarna sebintik kecilpun

Tak lebih dari se-jengkal keriput
Besi itu seperti mau berlumut
Tak berkarat memang
Namun pudarnya jelas terang

Nak!
Tahukah kau besi apa ini?
Ya, besi yang usang sekali
Yang biasa bertengger disanggul mak
Ketika berkodek dan berkebaya rapat

Tak berkarat memang
Namun pudarnya jelas terang
Sulit untuk menghitung abad umurnya
Besi sasak yang usang untuk turunan

Di album lama itu
Aku juga melihat ujung bengkoknya
Sasak yang tak berkarat di kepala mak
Ketika bersandar di dada bidang bapak

Sekarang aku kubur tanpa lahat
Besi usang yang kusam
Takkan lagi ada pudar, apalagi karat
Ditelan bumi lumat-lumat
Share:

Bulan Merah

ada bulan bu...

ketika bapak menghilang di sudut kabut
saat itu ibu tak lagi bersamaku

ketika bapak membidik bendungan tangisku
saat itu ibu tak lagi menelan air mataku

ada yang merah pak...
katika ibu memukul rasa rinduku
saat itu bapak sibuk mengubur paruh

ketika ibu mati
saat itu bapak pergi

aku sendiri
merah memeluk bulan
Share:

Tanah Riau

terik sekali siang ini
ada bongkahan batu yang hampir mendebu
selokan kering yang hampir basah darah
beruntun suara bising bak mesiu

dipenggorengan
detik-detik penghangusan

raba rasa yang tertata
semua hangus
membalut resah kata
tanpa bungkus
Share:

MalCylla

MalCylla
Mommy of YIN YANG

Popular Entry

Followers

Thanks for Coming

Blog ini diciptakan pada bulan Februari tahun 2009 oleh Iftita Rahmi. Diberdayakan oleh Blogger.